Kamis, 26 Mei 2011

Mimpi Laskar Pemimpi (telah diterbitkan di Medan Bisnis, 2011)


                                                       
                                                                    
               Impian, heh hampir mirip dengan harapan. Bermimpilah, karena masa depan berawal dari mimpi. Mimpi adalah kunci kesuksesan. Orang yang tidak pernah bermimpi adalah orang yang tidak pernah memiliki masa depan yang bahagia. Orang yang tidak mau bermimpi adalah orang yang tidak mau memiliki masa depan yang bahagia. Orang yang tidak memiliki mimpi adalah orang yang merugi seumur hidupnya. Berhenti bermimpi berarti berhenti memikirkan masa depan. Ah, begitu banyak kata-kata yang terangkai dari bibir setiap para lascar pemimpi.
               Berbicara impian, aku adalah salah satu lascar pemimpi yang tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Bahkan, aku memiliki berjuta mimpi. Mimpi-mimpi yang harus terwujudkan, inginku.
               Aku ingat, saat usiaku menginjak empat tahun, saat ditanya oleh bapakku, “Nak, kalau sudah besar nanti, anak bapak mau jadi apa?”. Maka dengan wajah polos aku menjawab, “Jadi doktel.” Begitulah lidah kecilku yang masih cadel belum fasih menyebut huruf terakhir tersebut.
               Dan ketika aku mulai mengecap bangku sekolah dasar, saat guruku bertanya, “apa cita-cita kalian anak-anak?”
               Dengan wajah polos itu aku mnjawab, “jadi dokter bu.” Lidahku mulai fasih mengucapkannya.
               Dan ketika aku mengecap bangku kelas enam sekolah dasar, impianku berubah karena sosok ibu guru yang begitu aku kagumi, aku suka cara dia mengajari kami, benar-benar seorang guru yang lemah-lembut, bu Mustika. Saat temanku bertanya, “Memangnya cita-cita kamu apa?”
               Dengan wajah polos itu pun aku menjawab, “Aku tidak punya cita-cita, tapi aku punya impian, aku ingin menjadi guru seperti bu Mustika. Aku ingin mewujudkan cita-cita bangsa kita seperti kata bu Mustika, mencerdaskan kehidupan bangsa.”
               Pun ketika aku mulai menimba ilmu di sekolah menengah pertama, ketika guru Fisikaku bertanya, “Apa impian terbesarmu, nak?” Dengan wajah polos itu aku menjawab, “Saya mau jadi guru, pak.”
               Dan ketika aku tinggal menunggu pengumuman kelulusan sekolah menengah pertama, aku dibingungkan oleh pilihan. Benar-benar dilematis. Saat temanku bertanya, “Mau lanjut kemana?”
               Atau ketika guruku bertanya, “Mau melanjutkan kemana, nak?” Aku bingung, benar-benar bingung. Maka dengan wajah polos itu aku menjawab, “Aku bingung, benar-benar bingung., ntahlah, melanjut ke sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah keperawatan, atau mungkin sekolah pertanian menengah atas. Aku bingung. Aku punya keinginan untuk menjadi insinyur pertanian tatkala bapakku mengalami gagal panen. Ntahlah.
               Namun akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas saja, kalau-kalau nanti aku punya keinginan menjadi apa, bisa aku pikirkan nantinya. Setelah tamat dari sekolah menengah atas ini kita dapat melanjut ke jenjang apapun itu.
               Ketika wali kelasku bertanya, “Apakah kalian sudah memiliki gambaran untuk melanjutkan kemana? Apakah kalian sudah memiliki gambaran mau jadi apa kalian nati setelah tamat sekolah?” Hingga dengan wajah polos itu aku menjawab, “Jadi insinyur pertanian, bu.”
               “Kenapa?”
               Aku pun menjawab bahwa aku ingin membantu bapakku mengolah sawahnya, agar bila nanti bapak mengalami gagal panen lagi, aku bisa membantunya untuk mengatasinya.
               Namun impianku berubah seiring berjalannya waktu. Aku ingat, ketika aku masuk kelas drama. Aku jadi begitu jatuh cinta dengan dunia yang aku geluti, sehingga timbul hasratku untuk menjadi sutradara teater. Aku ingin bisa membuat pementasan dimana-mana, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negara ke negara lain. Hm, ntahlah.
               Pun ketika ibuku bertanya padaku disaat kesibukan rutin kami disenja hari, “Ndok, ada niat lanjut kemana nanti setelah tamat? Ibu sih terserah maunya kamu, tapi ibu kok malah punya keinginan kamu tuh jadi bidan gitu ya ndok, kepiye?”
               “Ya ndak tau lah bu, lihat rezekinya nanti,”
               “Kalau bapak sih maunya kamu jadi dokter, kalau jadi bidan tanggung atuh bu, mbok jadi dokter ngono loh, bapak sanggup kok nyekolahin si mbak, lagian itu kan cita-cita si mbak dari kecil, iya toh.”
               Aku tersenyum mendengar permintaan ibu dan bapak. Kok malah aku jadi bingung, benar-benar bingung. Ntahlah. Bagaimana kalau aku katakana kalau aku mau jadi guru, jadi insinyur pertanian, jadi sutradara teater, atau mungkin bergelut pada bakatku yang baru, menjadi atlit beladiri. Hm, akulah laskar pemimpi yang tidak pernah berhenti bermimpi. Berjuta impianku, malah membuatku bingung.
               ***
               Aku pun bertambah bingung ketika harus menentukan pilihanku ketika diakhir kelas tiga sekolah menengah atas. Pasalnya bukan karena aku memiliki impian baru. Bukan.
               Tahun itu benar-benar tahun dukacita bagiku. Tahun dimana aku dirundung nestapa. Tahun yang membuat aku bingung apa yang harus kulakukan. Tahun yang membuat keluargaku begitu terpukul. Tahun yang membuat semangatku runtuh. Tahun yang membuatku berhenti bermimpi.
               Tidak. Aku adalah laskar pemimpi yang tidak pernah berhenti bermimpi. Lascar pemimpi yang memiliki berjuta mimpi. Aku ingat, orang yang berhenti bermimpi berarti orang yang berhenti memikirkan masa depan. Aku bukan orang yang tidak pernah bermimpi. Aku juga bukanlah orang yang tidak mau bermimpi. Aku hanya orang yang berhenti bermimpi. Apakah aku adalah orang yang tidak memiliki masa depan? Aku hanya mampu bergumam.
               Pada hari menjelang ujian akhir nasional sekolah menengah atas aku memutuskan untuk berhenti melanjutkan sekolahku. Begitu miris. Hm, mungkin bagi lascar pemimpi yang lainnya, mereka tidak kan pernah menyerah pada keadaan, mereka akan memperjuangkan mimpi-mimpi mereka, mimpi-mimpi yang tercatat dalam seratus mimpi mereka.
               Tapi ini kisahku, bukan kisah mereka. Meski putus sekolah bukan termasuk kedalam daftar jutaan mimpiku. Tapi ini karena keadaan. Aku tidak mungkin bias melanjutkan sekolahku lagi setelah kejadian malam itu, hujan api 10 Oktober. Sijago merah begitu garang melahap rumah kami. Sawah bapak juga sudah habis terjual ketika bapak mencalonkan dirinya menjadi Kepala Desa. Kami bangkrut. Mungkin kalau bangkrut tidak membuatku begitu terpukul. Tapi, yang satu ini benar-benar membuatku serasa bak mentari yang tiba-tiba kehilangan sinarnya, tatkala awan hitam menutup wajahnya di siang bolong.
               Ah, begitu tidak adilnya dunia, pikirku. Atau Tuhan mengutuk diriku karena aku begitu rakus untuk memiliki berjuta mimpi? Ntahlah. Kematian bapak benar-benar tidak bisa aku terima. Bagaimana mungkin, padahal lima jam sebelum kejadian itu kami masih bersendagurau, memikirkan kemana aku harus melanjutkan pendidikanku. Dan pada saat itu pertama kalinya aku bisa menentukan pilihanku, aku telah mantap untuk melanjutkan studiku ke kedokteran. Aku ingin ketika ibu dan bapak sakit, aku bisa mengobati mereka.
               Namun itu itu semua berakhir begitu saja. Seiring dengan mimpiku yang hangus terbakar. aku adalah laskar pemimpi yang berhenti bermimpi. Aku sudah tidak memikirkan jadi apa aku nantinya. Terserah Tuhan. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku dan ibuku bertahan hidup. Aku sedih melihat ibuku yang selalu terdiam terpaku. Seperti mayat hidup saja. Sejak kematian bapak, ibuku kehilangan akal sehatnya. Ntahlah.
               ***
               Semua sejarah hitam itu tertulis di catatan putihku. Daftar sejuta mimpi itu tak ada satupun yang terwujud. Butiran mutiara mengalir dipipiku membasahi catatan harianku. Aku adalah laskar pemimpi yang gagal memperjuangkan mimpi. Mungkin aku terlalu rakus memiliki berjuta mimpi, begitulah kata-kata yang selalu menari di pikiranku.
               Kain putih yang menjadi alas tidurku bak lautan hitam mimpiku. Aku sekarang hanyalah makhluk hina yang paling hina. Sejak dokter mendiagnosis aku mengidap penyakit HIV AIDS, aku menjadi penghuni ruang ini, merenungi hidupku, meratapi nasibku. Sejak aku memutuskan untuk berhenti bermimpi, aku menjadi sosok yang selalu pasrah. Jalani saja hidup ini mengikuti arah angina. Jika angi membawaku ketaman yang indah, bahagialah hatimu, jika angina membawamu ke lubang pembuangan sampah, sedihlah hatimu. Mengikuti arah angin, satu kesalahanku, seharusnya aku memutuskan untuk melawan arah angin.
               Mampuslah diriku ketika aku bertemu lelaki hidung belang itu,. Tapi aku malah berterima kasih padanya waktu itu. Mungkin karena aku tak berdaya. Ibu pun sudah menyusul bapak karena begitu cintanya ia.Sekarang, inilah aku dan kisahku, bersama sejarah dan impianku yang hangus terbakar.
               Namun pada detik ini, kumohon. Ya Tuhan, sekali ini saja, impianku dapat terwujud, aku hanya menginginkan satu mimpi ini setelah aku berhenti bermimpi. Kali ini harus terwujud, aku akan memperjuangkannya, karena aku laskar pemimpi. Tuhan, aku ingin malaikat IzrailMu menjemputku dirumahMu tatkala aku mengecup sajadah.

(*) Penulis merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2010
Nama : Fitrah Nuraidillah Nst
Nama pena: Aidillah Nasty
Alamat Fb: Fitrah Bluemoonshine
Alamat : Jln. Perjuangan gg Sukadamai no 11A, Medan Perjuangan, Medan.
No HP : 085276985855

Tidak ada komentar:

Posting Komentar