Senin, 28 Januari 2019

Memories of Myself



Gadis mungil berlesung pipi, begitulah diriku. Hidup di dunia telah melewati seperempat abad, sungguh sebuah hidup yang patut disyukuri. Ada banyak hal yang aku syukuri dalam perjalanan hidupku. Tumbuh dengan badan berukuran pendek pastilah selalu mendapat bullying dari lingkungan sekitar. Namun, aku yang tak mengindahkan itu, berfokus pada diriku, mimpi-mimpiku, dan prestasiku. Walhasil, orang melupakan si “aku” yang bertubuh pendek, dan hanya mengingat si si “aku” yang berprestasi. Aku bersyukur, sedari kecil aku selalu punya “something” yang aku mau dan ingin aku tuju, meskipun lagi-lagi banyal hal yang menjadi rintangan. Ekonomi keluarga yang menengah ke bawah membuatku berpuasa untuk melanjutkan mimpi-mimpi besarku.
Namun, Allah selalu punya takdir indah untukku. Aku ingat, sewaktu aku ingin bersekolah ke Pesantren setamatnya sekolah dasar, orang tuaku tak mampu. Bukan sekali itu saja, ketika akan melanjutkan Sekolah Menengah Atas, aku ingin melanjutkan ke SMA Pertanian, orang tuaku pun tak mampu, dan saat aku ingin melanjutkan perguruan tinggi ke PTN favoritku, kami pun tak punya daya upaya. Namun, ternyata apa yang takdir Allah berikan padaku memang patut aku syukuri. Meski tak masuk pesantren, aku bisa bersekolah di SMP terbaik dengan guru-guru terbaik yang menghantarkanku dengan prestasi terbaik, serta memiliki teman-teman yang hebat dan menyenangkan. Di sekolah lanjutan atas, meskipun bukan merupakan sekolah favorit, dan pembelajaran di sekolah tersebut pun tidak lebih baik dari pembelajaran semasa aku SMP, namun aku juga bertemu dengan teman terbaik dan menghantarkanku masuk ke PTN dengan beasiswa untuk melanjutkan mimpi-mimpiku. Ya, meski bukanlah PTN yang aku impikan, namun aku mendapat jurusan yang sesuai dengan minat bakatku, aku yang menyukai dunia sastra sejak kecil. Aku sangat bersyukur Allah mengirimku untuk mencicipi manisnya takdir di kampusku. Menempa diriku menjadi pejuang, bertemu dengan orang-orang dengan bakat dan pemikiran hebat yang belum pernah aku temui sebelumnya. Aku yang harus ditempa mampu memanajemen waktu dan diri, karena harus bergelut dengan banyaknya tugas kampus hingga harus begadang, belum lagi aku harus berjualan untuk memenuhi kebutuhanku, ditambah lagi pelbagai kegiatan organisasi dan komunitas yang banyak aku geluti; mulai dari komunitas teater, kepenulisan, hingga dakwah kampus. Satu hal besar yang aku syukuri tatkala aku berada di kampus, aku berdekatan dengan Jalan Menuju Allah, hijrah dan berkenalan dengan dakwah. Sungguh semua nikmat yang sangat wajid disyukuri.
            Sebuah hadiah terbesar dari Allah yang sangat aku syukuri berikutnya adalah aku memiliki orang tua yang selalu mendukungku. Yah, banyak hal yang harus aku syukuri di dunia ini. Memiliki mimpi-mimpi, komitmen dan prinsip, berbagai pengalaman perjalanan hidup, memiliki orang terdekat dan orang-orang di sekitar yang selalu memberikan aura positif untukku, dan ada Allah yang selalu menyertaiku.
            Sedari kecil aku memang tau “sesuatu” yang aku mau. Dan aku juga bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana teman sejati mana yang melukai. Aku yang menyukai sastra senang melakukan sesuatu yang dapat memenuhi kesukaanku itu. aku ingat, dulu masih SD, aku punya teman yang selalu bertukar cerita dongeng. Aku juga senang menulis cerita dan puisi. Aku suka membacakan puisi di depan khalayak. Aku pun suka menulis drama dan bermain peran. Kebanyakan prestasiku memang di kesusastraan. Karena aku tau apa yang aku mau, aku selalu mencari segala hal yang ingin aku coba, aku temukan, dan aku lakukan. Aku ingat sebuah quote yang menjadi awal inspirasi kekuatanku, “Hidup sekali, maka hiduplah yang berarti”. Aku selalu ingin mengartikan apa yang aku mau, apa yang aku impikan. Memiliki kisah hidup tak biasa, yang penuh suka duka, riwayat keluarga yang tak sempurna, hingga bullying yang aku terima, membuatku ingin membuktikan sesuatu, bahwa “I’m small, but I’m not small”. Satu hal yang aku pahami, Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan tak ada satu pun makhluk yang patut saling mengutuk. Aku ingin kembali pada Allah dengan pribadi yang terbaik, dan meninggalkan dunia dengan kisah yang terbaik, itulah sumber kekuatanku.
(Fitrah Nuraidillah Nst; tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas OLLOUT JSAN)

Kamis, 06 Desember 2018

Indonesia Kreatif, katanya...

Hm..mengawali kebingungan akan menulis apa untuk Event Flash blogging yang diadakan pada 7 Desember 2018, bekerja sama dengan Dinas Kominfo Provsu, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Direktorat pengelolaan Media, di Grand Aston City Hall Medan, Sumut, iseng-iseng saya googling dengan kata kunci "Indonesia kreatif", dan tiba lah saya di situs indonesiakreatif.net. Huhu..langsung sinyal kepo  pun tinut tinut, jari jemari langsung deh scroll up untuk menikmati laman situs indonesiakreatif.net yang isinya layaknya galeri kumpulan hasil karya kreativitas anak Indonesia. Duh, daku takjub bin jatuh cinta dengan berbagai karya anak bangsa. Indonesia memang kreatif euy, begitu kata saya dalam hati.

Op, pada setuju nggak nih kalau Indonesia memang kreatif? Kalau saya sih yes. Bukti bahwa Indonesia memang kreatif adalah berkembang pesatnya pertumbuhan daya cipta anak Indonesia dalam beragam sektor. Lihat saja perkembangan digital, semakin bertumbuhnya content creator dalam berbagai platform sosial media, yang kreatif-kreatif euy, mulai dari buat video dengan konten komedi, musik, film pendek, beauty vlogger, travel vlog dan lain sebagainya. Adapula perkembangan online shop yang semakin marak. Mau cari apa kak, buat hashtag #tasmurah di Instagram misalnya, wuihhh bejibun bin banyak yang dagang kak... Pedagang millenial sekarang bahkan sangat kreatif dalam memasarkan produknya. Belum lagi bicara tentang Pariwisata dan sektor lainnya...Pokoknya Indonesia memang kreatif dah...

Pertumbuhan Indonesia kreatif yang selaras dengan industri kreatif dan ekonomi kreatif ini pun ditandai dengan bermunculan Perusahaaan Start up yang menembus posisi Start Up Unicorn di Indonesia. Start up Unicorn Indonesia tersebut yakni Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan menyusul Grab yang sedang menjadi target Menkominfo, Bapak Rudiantara untuk diajak menjadi start up Unicorn Indonesia, mengingat  pertumbuhan Grab pesat di Indonesia. Sesuai yang menjadi target Menkominfo, Bapak Rudiantara, Indonesia memiliki 5 Start Up Unicorn pada tahun 2019. Eit, tau nggak, untuk menjadi Start up Unicorn, perusahaan yang baru merintis tersebut sudah mencapai valuasi di atas US$ 1 miliar ( Rp13,8 triliun). Uwow.....

Tuh..kan...Indonesia memang kreatif. Yuk, yuk, kita semangat untuk Indonesia yang lebih kreatif. Bocoran nih, Indonesia Kreatif punya target superwow loh, memiliki seribu Start Up pada tahun 2020. Hm, mungkinkah kamu satu diantaranya?

Jumat, 15 September 2017

Tokoh, Pahlawan, Diponegoro



Diponegoro
karya: chairil anwar
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
….
( 1943 )
            Hayo..siapa yang tahu penggalan puisi di atas acungkan tangannya sobat. Pada masih ingat kan sama pahlawan Pangeran Diponegoro? Kenapa ya sang pujangga Chairil Anwar sampai menuangkan sosok Diponegoro ke dalam puisinya? Apakah para sobat merasakan sebuah kekuatan semangat yang membara ketika membaca puisi Diponegoro? Kekuatan dari sosok Diponegoro dan kekuatan luapan semangat perjuangan.
                 Dipanegara atau dikenal dengan gelar Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa: Diponegoro), lahir di Yogyakarta, 11 November 1785, meninggal dunia di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Beliau dimakamkan di Makassar.
Pahlawan nasional Republik Indonesia ini merupakan anak sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta dan R.A. Mangkarawati, seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Lahir dengan nama Mustahar, Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya (Bahasa Jawa: Ontowiryo).
Beliau lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.
Sang pahlawan sangat harum namanya pada perang Dipanegara (Diponegoro), yangmana perang tersebut berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Perang Diponogoro adalah perang yang sangat hebat. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Penangkapan dan pengasingan
  • 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
  • 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
  • 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Penghargaan sebagai Pahlawan
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang. (Ai, referensi: http://www.wikipedia.org/)

Sabtu, 11 Juni 2011

isolasi (telah diterbitkan di Medan Bisnis, 2011)


            Huh!
            Puihh!
            Kotor, bau sekali! Gelap!
            Hidungku seakan gatal!
            Aku mengamati sekelilingku, kulirik kekanan, debu, kekiri, debu, depan, samping, debu. Kupandangi seluruh badanku, dari kaki, perut, dada, tangan, leher, kepala, aghh, debu, debu dan debu. Oh, seluruh badanku pun kotor. Aku tak tahan mencium aroma ini. Sungguh.
            “Tempat apa ini?”, pikirku. Gelap dan kotor. Najis, aku tak rela berada di tempat ini. Siapa yang telah tega mencampakkanku disini. Aku tak berdaya mengingatnya. Sungguh. Aku tak ingin terisolasi di tempat kumuh ini. Bagaimana mungkin, sosok seperti aku bisa berada disini? Aku ini adalah makhluk dari sebuah kota yang selalu membuat manusia terpesona memandangnya. Sesekali terasa dihidungku aroma tak sedap. Oi, betapa.
            “Hacuih”! Jijik. Tolong aku. Tolong. Selamatkan aku dari tempat ini. Apa aku narapidana? Memangnya apa yang telah aku lakukan? Apa aku telah membunuh? Apa aku mencuri, merampok? Apa aku telah menculik? Apa aku telah berzina? Apa aku korupsi? Apakah aku menipu? Bagaimana mungkin? Oh, tidak mungkin. Sungguh tidak. Hahahaha, lalu mengapa aku disini?
Tolol. Mengapa aku bertanya pada diriku sendiri, padahal aku sadar diri aku tidak mampu menemukan jawabannya. Dimanapun kucari takkan dapat. Di bawah meja, di bawah kursi, di lemari, di laci, di rak-rak buku, di balik pintu, di balik baju, di balik rok, di balik celana, di rumah pak RT, di rumah pak RW, di rumah sakit, di terminal, di hotel, di mall, di gedung sekolah, di gedung DPR, di gedung MPR, di gedung aparat, atau di Istana Presiden sekalipun, takkan kudapatkan. Atau mungkin di kolong jembatan akan kutemukan? Atau disepanjang aliran sungai Deli dan Babura? Ahgggh, konyol. Bagaimana mungkin?
***
            Kulihat sepasang mata melirikku dengan lirikan mengejek. Sekelompok makhluk mondar-mandir di hadapanku memamerkan kebahagiaan mereka, memantatiku. Hina. Seakan ku mendengar bisik-bisik tetangga mengataiku,. Tak begitu jelas. Hanya selalu angin saja. Tetapi, aku yakin mereka sedang membicarakan penderitaan diriku. Sepasang sosok berjubah hitam mencibirku. Alamak, hatiku pedih. Aku tak sanggup menerima keadaan ini. Apakah mereka membenciku? Ataukah hanya perasaanku saja? Tidak, aku yakin, ada benci yang bersemayam dihati mereka. Aku bisa membacanya dari sikap mereka terhadapku, raut wajah mereka ketika menatapku.
            “Agghhh, apa yang terjadi? Mengapa aku tidak ingat apapun?”, teriakku.
            Tetapi ada satu hal yang aku ingat. Tempatku bukan disini. Aku ingat sebuah ruangan yang mewah, kasur yang empuk, dan wanita cantik. Ya, aku ingat itu. Dimana? Dimana itu semua? Aku tak ingat.
            Aku juga ingat, wanita itu. Dia yang membawaku ke surga itu. Aku ingat tatapan matanya ketika memandangku. Tatapan pertama yang penuh nafsu. Akupun terus menggodanya dengan pesona karismaku, berharap dia akan menaruh hati padaku, lalu dia akan membawaku menikmati surga.
            Aku ingat, aku dan teman-temanku selalu memasang wajah manis setiap pengunjung datang. Kami selalu bertaruh, siapa yang laku hari ini? Siapa yang akan dibeli hari ini? Siapa yang akan mengecup surga hari ini? Siapa yang akan menjadi teman tidur, atau sekedar sosok untuk dipandang, dipajang, dinikmati. Oi, oi,oi.
            Pada hari itu, wanita itu memilihku. Aku sudah yakin. Pasti. Aku paling menarik diantara teman-temanku. Sungguh aku berbangga hati. Kulambaikan tanganku sebagai salam perpisahan pada teman-temanku. Aku mencibir mengejek mereka. Hahahahaha. Akulah pemenangnya. Aku akan segera menikmati surge kemewahan.
            Sungguh dugaanku tak meleset. Aku memasuki ruangan mewah, sejuk, dan nyaman. Malam ini jadi malam pertamaku di ruangan ini, dan aku bertyambah bahagia ketika wanita cantik itu tak hanya menjadikanku sebagai bahan pajangan untuk dinikmati. Aku menjadi teman tidurnya malam ini, semoga seterusnya. Betapa tidak. Bagaimana mungkin aku menolaknya. Kasur empuk itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Tubuhku bertambah hangat ketika wanita itu memelukku. Ada sebuah kedamaian kurasa mengalir di sanubariku.
            Esoknya, wanita itu masih memperlakukan aku dengan sangat istimewa. Aku menjadi makhluk paling dimanjakan sedunia. Mungkin. Dia selalu membelaiku, mengelus kepalaku, menciumku, dan memelukku. Ada kehangatan cinta yang kurasa darinya.
            Esoknya lagi, diapun masih memperlakukan hal yang sama. Esoknya, esoknya, esoknya, dan ntahlah. Aku tak menghitung setiap detik, menit, jam, dan hari yang telah kami habiskan bersama. Bagaimana mungkin? Tidak mungkin. Aku kan tolol.
            Hmm, tidak. Lalu, dimana wanita cantik itu sekarang? Dimana dia? Aku tak menemukannya di tempat kumuh ini. Tidak. Memang tidak mungkin. Tapi, mengapa aku bias disini. Apa dia telah mencampakkanku? Apa dia yang telah mengisolasikanku di tempat kumuh ini? Ya, dia mencampakkanku ketika masih terlelap menikmati kasur empuknya. Mungkin malam itu dia telah menghipnotisku agar tidak bangun sampai dia selesai melakukan misinya. Ah, bagaimana mungkin aku menghakiminya tanpa melihat bukti yang jelas, itu fitnah namanya. Ahghhh.
            Ya Tuhan, aku tak mau disini, tak mau. Hatiku sedih, tapi tak setetespun air mata bergulir dipipiku. Oh, betapa.
            Sosok-sosok di tempat kumuh ini semakin menjadi-jadi menghinaku. Rasaku. Memekik telingaku. Menorehkan luka yang semakin menganga. Harga diriku seakan luruh. Aku bukan narapidana. Aku bukan pencuri. Aku bukan perampok. Aku bukan pembunuh. Aku bukan penzina. Aku bukan koruptor. Aku bukan penipu. Bukan. Bagaimana mungkin bisa?
            Kumohon, jangan pandangi aku seperti itu. Aku ini hanya korban. Korban? Ya, korban nafsu wanita itu. Setelah itu aku dicampakkan begitu saja. Aku yakin. Ah, bagaimana bisa aku menuduhnya lagi, aku tak mau memfitnah.
            “Tolong! Tolong! Tolong!, tolong keluarkan aku dari sini, kembalikan aku kepada teman-temanku, kumohon.”
            Ada sesal yang tertoreh di hatiku. Aku tak menyangka nasibku begini. Kalau begini aku akan memasang wajah masam saja waktu itu agar si wanita brengsek itu tak memilihku.
            Tiba-tiba tempat kumuh yang gelap menjadi terang.
            “Kreakkk.”
            Terlihat dua sosok berdiri, yang satu memegang handel pintu, dan yang berdiri tepat dihadapanku itu sangat kuingat. Wanita cantik itu. Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka akan mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini? Apa mereka akan menyelamatkanku dari isolasi ini?
            Oh, syukurlah. Mereka menghampiriku. Kusunggingkan senyumku, senyum yang membuat wanita cantik itu terpesona akan karismaku, tatapan pertama. Kuharap dia akan membawaku menikmati surga lagi.
            Ahggh, meleset. Dia membawaku dengan paksa, seakan jijik. Ya, dia jijik dengan keadaanku sekarang. Aku sadar, aku bukan yang dulu. Aku pasrah, terserah dia akan membawaku kemana.
            “Hacuih!”
            Tempat apa pula ini? Jorok, bukan kotor. Aromanya jauh lebih menusuk. Busuk. Ah, apa riwayatku akan tamat di tempat busuk ini? Dia membantingku. Badanku sakit sekali. Tak sampai patah tulang. Tak mungkin. Tiba-tiba semua gelap, hitam.
***
            Aku melihat sosok yang tersenyum padaku. Senyum yang berbeda. Tatapannya pun. Jauh dari tatapan nafsu wanita itu. Aroma segar terasa menggelitik hidungku. Surga, inikah? Aku menatap sekelilingku, sederhana tapi asri. Kupandangi tubuhku. Wow, betapa, betapa. Betapa aku senang aku seakan kembali seperti dulu. Karismaku seakan kembali. Kutatap dadaku, “Teddy Bear”, masih jelas terlihat. Oi, oi, oi.

(*) Penulis merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Unimed, anggota Forum Lingkar Pena IV.
Nama: Fitrah Nuraidillah Nst
Alamat: Jln. Perjuangan gg Sukadamai no 11A, Medan Perjuangan.
No HP: 085276985855

Minggu, 29 Mei 2011

Bartongkar


            Hmm, bibir itu terus mengutuk, mengumpat diriku. Bibir biadab, pikirku. Sungguh telingaku bosan mendengarnya. Ingin rasanya aku meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan kun fa ya kun padaku, aku ingin sejenak menjadi penyandang tunarungu, atau pemilik bibir itu berhenti mengalunkan bunyi-bunyi beracun, kumohon. Otakku mendidih, tatkala dia lontarkan umpatan hinaan atas diriku.
            “Lonte! Barges! Dasar kau, wanita penjaja nafsu!”
Ya Tuhan, rasanya sejenak nyawaku tercabut dari ubun-ubun. Tubuhku bergetar, dadaku sesak. Kutatap matanya yang memerah, menatapku dengan tatapan iblis. Bibirnya masih komat-kamit membaca mantra pembunuh harga diri seseorang. Ternyata itu mantranya.
Aku tak berdaya. Aku hanya mampu terpaku mendengar bibir itu menjampi-jampiku. Oh, Tuhan, beri aku kekuatan. Padahal aku sudah melakukan apa yang dia inginkan. Aku telah memenuhi apa yang dia butuhkan. Bukankah dia yang menyuruhku melayani bosnya? Apalagi yang salah? Apakah karena aku hanya bisa membawa satu kantong plastik martabak saja? Hehhgh…tengik.
Ingin rasanya kuambil gunting, lalu kugunting-gunting bibir biadab itu. Tapi  aku tak berdaya. Sungguh. Sepertinya mantra yang keluar dari bibir itu ampuh mengisolasiku, menahan diriku untuk tidak memberontak. Menjampi-jampiku, mengutukku menjadi berhala.
Heh, berhala. Yah, aku adalah berhala. Patung yang disembah, dielu-elukan, dimuliakan dengan sesajen agar sang hamba memperoleh nikmat tak terbatas. Aku hanya mampu terpaku ketika lelaki itu terus menawarkan sesajen harapan masa depan, menyembahku, agar aku melakukan apa yang dia minta, memenuhi apa yang dia butuhkan. Aku hanya mematung. Tak berdaya memberontak. Padahal hati ini terus mengutuknya.
Entahlah. Entah mengapa diri ini masih sanggup hidup dengan lelaki iblis itu. Apa yang telah dia lakukan padaku? Cinta? Apa mungkin aku mencintainya? Dulu . mungkin ya. Tapi itu karena kekeliruanku. Yah, aku keliru. Tetapi, mengapa aku masih hidup dengannya? Mengapa aku tak sanggup meninggalkannya? Bodohnya aku. Yah, aku memang manusia terbodoh yang pernah singgah di bumi Tuhan. Kurasa. Bagaimana tidak? Aghhh…entahlah entah. “Tuhannnn..”
***
            Seperti biasa, kedai incek Madin selalu ramai dikunjungi manusia-manusia penikmat surga dunia, setidaknya itu kata mereka. Semakin larut semakin ramai. Mereka selalu memesan minuman favorit mereka, si tuak pait. Usaha itu sudah berjalan belasan tahun. Sejak unde Saodah mengangkatku menjadi anaknya, begitulah yang kudengar dari cerita unde Saodah. Mereka membesarkanku dan menyekolahkanku, meski hanya sampai jenjang SMP, itupun tak tamat, aku berhenti ketika duduk di bangku kelas dua, dikarenakan incek Madin dan unde Saodah selalu bertengkar pasal biaya sekolahku. Aku tak tahan, aku tak mau mereka terus-terusan bertengkar, aku cukup tahu diri. Semenjak ayahku meninggal dan omakku pergi ke Malaysia dan menikah dengan lelaki negeri jiran sana, aku diasuh oleh mereka. Unde Saodah yang menginginkan aku, waktu itu umurku masih sembilan tahun. Ia tak tega melihat diriku terlantar. Jangankan atok dan andongku atau bujing Ijah adik omak, omakku pun tak mau mengasuhku lagi. Katanya ia tak mau melihatku lagi karena setiap menatapku dia selalu merindukan ayah. Dia tak mau larut dalam kesedihannya. Hanya unde Saodahlah yang mau menerimaku. Padahal incek Madinlah pamanku kandung, tapi justru dia tak ada niat sedikitpun mengasuhku. Namun, karena istrinya yang meminta, maka ia pun sudi mengasuhku. Betapapun tulusnya kasih unde Saodah, aku tetap tak bisa memanggilnya omak. Aku tetap tak bisa menggantikan predikat omak walaupun ia telah menelantarkanku. Oi, betapa.
            “Oih bayo, Zubed, jangan melamun sajo karojo kau, pogi kau antarkan tuak ni.”
            Unde Saodah mengejutkanku, spontan kujawab, “Iyo nde.”
            Aku mengantar tiga gelas tuak dan dua piring pisang goreng campur bakwan ke sebuah meja yang diduduki seorang pemuda berjaket hitam, lelaki separuh baya yang terlihat mewah dari tampilannya, dan tiga orang lelaki yang duduk mengangkat kaki sebelah.
            “Oi makjang, manis kali kau dek, siapo nama kau?” Sapa lelaki yang memakai jaket hitam.
            “Zubaidah bang, tapi soringnyo dipanggil Zubed.”
            “Udah adonya pacar kau dek. Aih, sorry, lancang bonar aku. Tak tahan aku manengok sonyum kau itu. Manis kali kuraso. Pantaslah, kode tuak incek Madin ni laris manis.”
            “Aponya abang ni.” Akupun berlalu menuju ke belakang, menyiapkan gorenganku sedikit lagi. Kurasakan dadaku berdebar-debar, ada sesuatu yang tertahan. Lelaki itu terus memandangiku. Tingkahku jadi aneh, aku salah tingkah dibuatnya. Hampir aku lupa mengangkat gorengan.
            Begitulah perkenalanku dengan lelaki itu. Setelah itu, dia sering kali datang ke kedai incek Madin. Terkadang dia datang bersama lelaki paruh baya itu, dan tak jarang pula dia datang sendiri. Lama kelamaan semakin hari semakin bertambah frekuensi debaranku. Aku jadi suka tersenyum sendiri bila mengingatnya, bahkan aku mencarinya kalau dia terlambat datang atau tidak datang. Pernah satu kali dia tak datang dan beberapa kali datang larut malam. Mungkinkah aku jatuh cinta? Pikirku. Apa yang kurang dari dia, wajahnya tampan, baik, dan sepertinya dia juga orang berkecukupan, setahuku mobilnya yang mewah ada dua. Kalau dia menyatakan cintanya padaku suatu saat, kuterima sajalah.
            Rasa dihatiku terpupuk hingga tumbuh subur. Aku menerima cintanya, malam minggu setelah sebulan aku mengenalnya. Tapi sayang, incek Madin tak suka. Dia menghajarku setelah aku pulang berkencan dengan lelaki itu, Puddin namanya. Dia tak suka aku berhubungan dengannya, lebih tepatnya dia tak suka aku berpacaran dengan pelanggannya.
            “Dasar kau, parampuan murahan, ondak jadi lonte kau yo? Aku cuma jual tuak, aku tak jual anak gadis orang, tau kau, bikin malu.”
            Hatiku mendidih, darahku berdesir. Unde Saodah mencoba meredam semuanya. Dia mencoba membela diriku, menghiburku. Incek Madin kemudian meredakan amarahnya. Namun seminggu tak dicakapinya aku.
            Walaupun sebegitu murkanya incek Madin padaku, perasaanku tetap tak berubah pada bang Puddin, begitu aku memanggilnya. Hubungan kami terus berlanjut. Hingga pada suatu malam incek Madin memarahiku lagi ketika aku ketahuan berkencan kembali dengan bang Puddin. Sampai pada akhirnya aku dan dia memutuskan untuk kawin lari. Persetan dengan restu. Lagipula mereka bukan orangtuaku, pikirku tak tahu diri. Pengabdianku kepada mereka selama ini sudah cukup. Bang Puddinpun membawaku hijrah ke Medan meninggalkan Tanjung Balai. Di kota ini kami mulai memintal kasih dan merajut hidup baru. Aku berharap masa depanku dengannya akan bahagia.
            ***
            Begitulah kisah perkenalanku dengan lelaki iblis itu yang masih tersisa di memoriku. Aku tertipu. Aku bodoh. Seminggu pernikahan itu memang indah. Kami tinggal di sebuah hotel mewah, bagiku sudah cukup mewah. Namun, kemudian dia mengajakku pindah ke sebuah rumah kecil dan sempit di ujung gang kecil yang jauh dari kemewahan. Awalnya kupikir hanya sementara kami tinggal disini, mungkin ini rumah saudaranya. Namun ternyata hari-hari kami akan berlalu di rumah ini, itu kata bang Puddin, si penipu itu. Aku tak percaya pada kenyataan itu, yang aku tahu dia lelaki berkecukupan dengan dua buah mobil mewah yang sering dibawanya ke kedai incek Madin.
            Hidupku sengsara. Uang belanja selalu saja tak cukup. Bang Puddin sering pulang larut malam, dengan kebiasaannya mabuk-mabukkan dan tak jarang pula uangnya habis untuk bermain judi. Dinding dan lantai rumah selalu menjadi saksi bisu pertengkaran kami.
            Sesuatu mengejutkanku. Sungguh. Oi, betapa dia tega padaku. Ketika itu dia menyuruhku untuk datang ke sebuah kamar di hotel mewah bertaraf Internasional, katanya. Dia ingin memberikan sebuah kejutan padaku. Kejutan yang mendatangkan rupiah berpuluh lembar. Selama pernikahan kami, baru kali ini dia memberi kejutan.
            Astaghfirullah, terkutuk. Benar-benar sebuah kejutan. Malam itu udara tercemar oleh suara tangis seorang perempuan kampung. Bintangpun enggan mengerlingkan sinar, rembulan mencoba menutup wajahnya dengan cadar awan-awan kelam. Tercium aroma busuk dari balik jendela kamar tanpa sinar. Entah apa yang busuk, mungkin sampah, roti, nasi, atau hati?
            Aku pasrah. Heh, pasrah, selain itu apa lagi yang bisa kuperbuat. Malam-malamku selanjutnya pun berubah. Lelaki itu selalu mengantarkanku ketika waktu gentayanganku tiba, agendaku, deadline. Ini demi masa depan kita, begitu katanya. Aku tak sanggup menolaknya. Sudah terlanjur basah, ya basahlah. Persetan dengan dosa, pikirku.
            Kupir-pikir aku senang juga dan berterimakasih pada bang Puddin. Kalau tak karena dia aku tak bisa bertemu dengan lelaki paruh baya itu, lelaki yang selalu dibawa bang Puddin ke kedai tuak incek Madin, oh ada penyesalan dihatiku mengingat mereka, unde saodah, bagaimana kabarmu. Ya, kalau tak bertemu lelaki paruh baya itu aku tak bisa merasakan kemewahan yang kupikir akan kudapatkan dari bang Puddin. Kasur empuk, fasilitas mewah, menikmati makanan enak di restoran mahal, berbelanja di Mall, berkaraoke, ke salon mahal. Hmm..tengik, uang yang kudapatkan dari hasil kerjaku selalu menjadi hak milik bang Puddin, bukankah itu tengik namanya. Tapi biarlah, yang penting keinginanku untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang kaya itu tercapai. Apapun yang haram akan kuhalalkan. Hahahahaha.
***
            Bibirku masih membeku, tubuhku gemetar, namun lelaki itu masih terus berorasi. Udara malam di rumah yang susah untuk selonjoran ini pun terasa panas. Tikus, kecoa, cicak, dan nyamuk penghuni rumah ini bersembunyi. Mereka seolah takut menjadi saksi pertengkaran kami.
            “Jalan kamano sajo kau, hah?”
            “Ke Mall sajo, kaliling-kaliling kota, baronti sabontar di jalan Iskandar Muda, torus pogi ke rumah dia yang di Belawan tu.”
            “Dari pagi sampek malam bagini, tak ado sapeser duit pun kau dapat? Macam manonyo kau ni, jadi apo yang kau dapat, parampuan oto.”
            Aku masih mengulum bahasa.
            “Kau tau, aku harus bayar utangku samo si Ujang, aku kalah taruhan samalam. Sekarang antah lah jang, tak bisa diandalkan kau jadi bini.”
            “Apo kato abang? Dah capek aku asik bartongkar torus. Memang tak adonya pikiran kau, aku ni istri kau, tak sedikitpun kau malu menjual istri kau, oih…udah macam binatang kau.”
            “Bujas, dah pande malawan kau yo, oh, bagitu ruponyo yang kau dapat dari si atok-atok tu yo.”
            “Heh, setidaknya kau harus ingat bang, dia yang mengkasi kau makan, dia yang membuatmu kau berhasil manipuku, karena dia kau bisa barjudi, mabuk-mabukkan sapuas kau. Kau tau kanapo aku tak bawa uang banyak malam ni, kau piker aku tak tau heh.. dia tak ondak mambayarku karena banyak utang kau samo dia, katonyo aku sebagai pambayaran palunasan utang-utang kau, oih..dimanonyo otak kau, binatang, setan.”
            “Hah apo kau cakap? Kurang ajar kau yo. Parampuan jalang, hina.”
            Dia mendorong tubuhku ke dinding, menjepit leherku dengan tangan kirinya, lalu menyumpalkan martabak ke mulutku, hingga aku kesulitan bernafas. Kepalaku terhempas ke dinding, aku merasa pusing dan pandanganku kabur.
            “Kau makan ni pancarian kau, tak sudi aku.”
            “Ehgg, eghh, ak..a..ak..”
            “Hahahaha, apo ondak kau buat sekarang, heh.”
            Aku berusaha sekuat tenaga membebaskan diriku. Kugigit tangannya, kutendang kemaluannya. Sesaat dia kesakitan. Aku beranjak, dia mencoba mengejar dan meraihku. Kulempar dia dengan remote TV yang terletak di meja, tak kena. Lalu kulempar dia dengan sendok pengaduk kopinya mengenai pelipis mata kanannya, aku senang. Dia terus berusaha menangkapku. Aku terus berlari menuju kamar, aku mencoba mengkunci pintu, tapi tak sempat. Dia mendorong pintu, akupun terjatuh. Aku terus bergerak mundur, lalu bangkit. Dia berhasil meraihku. Dihempaskannya aku ke tempat tidur. Dia menamparku, menjambak rambutku, mencekik leherku. aku mencoba mencari cara untuk membebaskan diri, meraba-raba kesegala arah, mana tahu ada sesuatu yang dapat kumanfaatkan.
            Tiba-tiba aku merasa tubuhku basah, ada sesuatu mengalir ditubuhku. Amis. Aku pasrah, jika hidupku berakhir. Ya Allah, ampuni hambaMu yang terkutuk ini. Tapi aneh, aku masih dapat merasakan udara panas malam ini. Terasa begitu menjijikkan.
            Astaghfirullah, tanganku berlumuran cairan yang sama seperti di tubuhku. Kurasakan badan lelaki iblis menimpaku, berat. Tubuhnya terasa sedingin es krim yang sering ku nikmati bersama bossnya. Wajahnya pucat pasi. Lidahnya menjulur. Oi, betapa. Apa yang telah terjadi ya Allah? Entahlah, tiba-tiba semua gelap.
Nama: Fitrah Nuraidillah Nst
Nim: 2101311002
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010, Reguler C Pendidikan Bahasa Indonesia