Minggu, 29 Mei 2011

Bartongkar


            Hmm, bibir itu terus mengutuk, mengumpat diriku. Bibir biadab, pikirku. Sungguh telingaku bosan mendengarnya. Ingin rasanya aku meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan kun fa ya kun padaku, aku ingin sejenak menjadi penyandang tunarungu, atau pemilik bibir itu berhenti mengalunkan bunyi-bunyi beracun, kumohon. Otakku mendidih, tatkala dia lontarkan umpatan hinaan atas diriku.
            “Lonte! Barges! Dasar kau, wanita penjaja nafsu!”
Ya Tuhan, rasanya sejenak nyawaku tercabut dari ubun-ubun. Tubuhku bergetar, dadaku sesak. Kutatap matanya yang memerah, menatapku dengan tatapan iblis. Bibirnya masih komat-kamit membaca mantra pembunuh harga diri seseorang. Ternyata itu mantranya.
Aku tak berdaya. Aku hanya mampu terpaku mendengar bibir itu menjampi-jampiku. Oh, Tuhan, beri aku kekuatan. Padahal aku sudah melakukan apa yang dia inginkan. Aku telah memenuhi apa yang dia butuhkan. Bukankah dia yang menyuruhku melayani bosnya? Apalagi yang salah? Apakah karena aku hanya bisa membawa satu kantong plastik martabak saja? Hehhgh…tengik.
Ingin rasanya kuambil gunting, lalu kugunting-gunting bibir biadab itu. Tapi  aku tak berdaya. Sungguh. Sepertinya mantra yang keluar dari bibir itu ampuh mengisolasiku, menahan diriku untuk tidak memberontak. Menjampi-jampiku, mengutukku menjadi berhala.
Heh, berhala. Yah, aku adalah berhala. Patung yang disembah, dielu-elukan, dimuliakan dengan sesajen agar sang hamba memperoleh nikmat tak terbatas. Aku hanya mampu terpaku ketika lelaki itu terus menawarkan sesajen harapan masa depan, menyembahku, agar aku melakukan apa yang dia minta, memenuhi apa yang dia butuhkan. Aku hanya mematung. Tak berdaya memberontak. Padahal hati ini terus mengutuknya.
Entahlah. Entah mengapa diri ini masih sanggup hidup dengan lelaki iblis itu. Apa yang telah dia lakukan padaku? Cinta? Apa mungkin aku mencintainya? Dulu . mungkin ya. Tapi itu karena kekeliruanku. Yah, aku keliru. Tetapi, mengapa aku masih hidup dengannya? Mengapa aku tak sanggup meninggalkannya? Bodohnya aku. Yah, aku memang manusia terbodoh yang pernah singgah di bumi Tuhan. Kurasa. Bagaimana tidak? Aghhh…entahlah entah. “Tuhannnn..”
***
            Seperti biasa, kedai incek Madin selalu ramai dikunjungi manusia-manusia penikmat surga dunia, setidaknya itu kata mereka. Semakin larut semakin ramai. Mereka selalu memesan minuman favorit mereka, si tuak pait. Usaha itu sudah berjalan belasan tahun. Sejak unde Saodah mengangkatku menjadi anaknya, begitulah yang kudengar dari cerita unde Saodah. Mereka membesarkanku dan menyekolahkanku, meski hanya sampai jenjang SMP, itupun tak tamat, aku berhenti ketika duduk di bangku kelas dua, dikarenakan incek Madin dan unde Saodah selalu bertengkar pasal biaya sekolahku. Aku tak tahan, aku tak mau mereka terus-terusan bertengkar, aku cukup tahu diri. Semenjak ayahku meninggal dan omakku pergi ke Malaysia dan menikah dengan lelaki negeri jiran sana, aku diasuh oleh mereka. Unde Saodah yang menginginkan aku, waktu itu umurku masih sembilan tahun. Ia tak tega melihat diriku terlantar. Jangankan atok dan andongku atau bujing Ijah adik omak, omakku pun tak mau mengasuhku lagi. Katanya ia tak mau melihatku lagi karena setiap menatapku dia selalu merindukan ayah. Dia tak mau larut dalam kesedihannya. Hanya unde Saodahlah yang mau menerimaku. Padahal incek Madinlah pamanku kandung, tapi justru dia tak ada niat sedikitpun mengasuhku. Namun, karena istrinya yang meminta, maka ia pun sudi mengasuhku. Betapapun tulusnya kasih unde Saodah, aku tetap tak bisa memanggilnya omak. Aku tetap tak bisa menggantikan predikat omak walaupun ia telah menelantarkanku. Oi, betapa.
            “Oih bayo, Zubed, jangan melamun sajo karojo kau, pogi kau antarkan tuak ni.”
            Unde Saodah mengejutkanku, spontan kujawab, “Iyo nde.”
            Aku mengantar tiga gelas tuak dan dua piring pisang goreng campur bakwan ke sebuah meja yang diduduki seorang pemuda berjaket hitam, lelaki separuh baya yang terlihat mewah dari tampilannya, dan tiga orang lelaki yang duduk mengangkat kaki sebelah.
            “Oi makjang, manis kali kau dek, siapo nama kau?” Sapa lelaki yang memakai jaket hitam.
            “Zubaidah bang, tapi soringnyo dipanggil Zubed.”
            “Udah adonya pacar kau dek. Aih, sorry, lancang bonar aku. Tak tahan aku manengok sonyum kau itu. Manis kali kuraso. Pantaslah, kode tuak incek Madin ni laris manis.”
            “Aponya abang ni.” Akupun berlalu menuju ke belakang, menyiapkan gorenganku sedikit lagi. Kurasakan dadaku berdebar-debar, ada sesuatu yang tertahan. Lelaki itu terus memandangiku. Tingkahku jadi aneh, aku salah tingkah dibuatnya. Hampir aku lupa mengangkat gorengan.
            Begitulah perkenalanku dengan lelaki itu. Setelah itu, dia sering kali datang ke kedai incek Madin. Terkadang dia datang bersama lelaki paruh baya itu, dan tak jarang pula dia datang sendiri. Lama kelamaan semakin hari semakin bertambah frekuensi debaranku. Aku jadi suka tersenyum sendiri bila mengingatnya, bahkan aku mencarinya kalau dia terlambat datang atau tidak datang. Pernah satu kali dia tak datang dan beberapa kali datang larut malam. Mungkinkah aku jatuh cinta? Pikirku. Apa yang kurang dari dia, wajahnya tampan, baik, dan sepertinya dia juga orang berkecukupan, setahuku mobilnya yang mewah ada dua. Kalau dia menyatakan cintanya padaku suatu saat, kuterima sajalah.
            Rasa dihatiku terpupuk hingga tumbuh subur. Aku menerima cintanya, malam minggu setelah sebulan aku mengenalnya. Tapi sayang, incek Madin tak suka. Dia menghajarku setelah aku pulang berkencan dengan lelaki itu, Puddin namanya. Dia tak suka aku berhubungan dengannya, lebih tepatnya dia tak suka aku berpacaran dengan pelanggannya.
            “Dasar kau, parampuan murahan, ondak jadi lonte kau yo? Aku cuma jual tuak, aku tak jual anak gadis orang, tau kau, bikin malu.”
            Hatiku mendidih, darahku berdesir. Unde Saodah mencoba meredam semuanya. Dia mencoba membela diriku, menghiburku. Incek Madin kemudian meredakan amarahnya. Namun seminggu tak dicakapinya aku.
            Walaupun sebegitu murkanya incek Madin padaku, perasaanku tetap tak berubah pada bang Puddin, begitu aku memanggilnya. Hubungan kami terus berlanjut. Hingga pada suatu malam incek Madin memarahiku lagi ketika aku ketahuan berkencan kembali dengan bang Puddin. Sampai pada akhirnya aku dan dia memutuskan untuk kawin lari. Persetan dengan restu. Lagipula mereka bukan orangtuaku, pikirku tak tahu diri. Pengabdianku kepada mereka selama ini sudah cukup. Bang Puddinpun membawaku hijrah ke Medan meninggalkan Tanjung Balai. Di kota ini kami mulai memintal kasih dan merajut hidup baru. Aku berharap masa depanku dengannya akan bahagia.
            ***
            Begitulah kisah perkenalanku dengan lelaki iblis itu yang masih tersisa di memoriku. Aku tertipu. Aku bodoh. Seminggu pernikahan itu memang indah. Kami tinggal di sebuah hotel mewah, bagiku sudah cukup mewah. Namun, kemudian dia mengajakku pindah ke sebuah rumah kecil dan sempit di ujung gang kecil yang jauh dari kemewahan. Awalnya kupikir hanya sementara kami tinggal disini, mungkin ini rumah saudaranya. Namun ternyata hari-hari kami akan berlalu di rumah ini, itu kata bang Puddin, si penipu itu. Aku tak percaya pada kenyataan itu, yang aku tahu dia lelaki berkecukupan dengan dua buah mobil mewah yang sering dibawanya ke kedai incek Madin.
            Hidupku sengsara. Uang belanja selalu saja tak cukup. Bang Puddin sering pulang larut malam, dengan kebiasaannya mabuk-mabukkan dan tak jarang pula uangnya habis untuk bermain judi. Dinding dan lantai rumah selalu menjadi saksi bisu pertengkaran kami.
            Sesuatu mengejutkanku. Sungguh. Oi, betapa dia tega padaku. Ketika itu dia menyuruhku untuk datang ke sebuah kamar di hotel mewah bertaraf Internasional, katanya. Dia ingin memberikan sebuah kejutan padaku. Kejutan yang mendatangkan rupiah berpuluh lembar. Selama pernikahan kami, baru kali ini dia memberi kejutan.
            Astaghfirullah, terkutuk. Benar-benar sebuah kejutan. Malam itu udara tercemar oleh suara tangis seorang perempuan kampung. Bintangpun enggan mengerlingkan sinar, rembulan mencoba menutup wajahnya dengan cadar awan-awan kelam. Tercium aroma busuk dari balik jendela kamar tanpa sinar. Entah apa yang busuk, mungkin sampah, roti, nasi, atau hati?
            Aku pasrah. Heh, pasrah, selain itu apa lagi yang bisa kuperbuat. Malam-malamku selanjutnya pun berubah. Lelaki itu selalu mengantarkanku ketika waktu gentayanganku tiba, agendaku, deadline. Ini demi masa depan kita, begitu katanya. Aku tak sanggup menolaknya. Sudah terlanjur basah, ya basahlah. Persetan dengan dosa, pikirku.
            Kupir-pikir aku senang juga dan berterimakasih pada bang Puddin. Kalau tak karena dia aku tak bisa bertemu dengan lelaki paruh baya itu, lelaki yang selalu dibawa bang Puddin ke kedai tuak incek Madin, oh ada penyesalan dihatiku mengingat mereka, unde saodah, bagaimana kabarmu. Ya, kalau tak bertemu lelaki paruh baya itu aku tak bisa merasakan kemewahan yang kupikir akan kudapatkan dari bang Puddin. Kasur empuk, fasilitas mewah, menikmati makanan enak di restoran mahal, berbelanja di Mall, berkaraoke, ke salon mahal. Hmm..tengik, uang yang kudapatkan dari hasil kerjaku selalu menjadi hak milik bang Puddin, bukankah itu tengik namanya. Tapi biarlah, yang penting keinginanku untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang kaya itu tercapai. Apapun yang haram akan kuhalalkan. Hahahahaha.
***
            Bibirku masih membeku, tubuhku gemetar, namun lelaki itu masih terus berorasi. Udara malam di rumah yang susah untuk selonjoran ini pun terasa panas. Tikus, kecoa, cicak, dan nyamuk penghuni rumah ini bersembunyi. Mereka seolah takut menjadi saksi pertengkaran kami.
            “Jalan kamano sajo kau, hah?”
            “Ke Mall sajo, kaliling-kaliling kota, baronti sabontar di jalan Iskandar Muda, torus pogi ke rumah dia yang di Belawan tu.”
            “Dari pagi sampek malam bagini, tak ado sapeser duit pun kau dapat? Macam manonyo kau ni, jadi apo yang kau dapat, parampuan oto.”
            Aku masih mengulum bahasa.
            “Kau tau, aku harus bayar utangku samo si Ujang, aku kalah taruhan samalam. Sekarang antah lah jang, tak bisa diandalkan kau jadi bini.”
            “Apo kato abang? Dah capek aku asik bartongkar torus. Memang tak adonya pikiran kau, aku ni istri kau, tak sedikitpun kau malu menjual istri kau, oih…udah macam binatang kau.”
            “Bujas, dah pande malawan kau yo, oh, bagitu ruponyo yang kau dapat dari si atok-atok tu yo.”
            “Heh, setidaknya kau harus ingat bang, dia yang mengkasi kau makan, dia yang membuatmu kau berhasil manipuku, karena dia kau bisa barjudi, mabuk-mabukkan sapuas kau. Kau tau kanapo aku tak bawa uang banyak malam ni, kau piker aku tak tau heh.. dia tak ondak mambayarku karena banyak utang kau samo dia, katonyo aku sebagai pambayaran palunasan utang-utang kau, oih..dimanonyo otak kau, binatang, setan.”
            “Hah apo kau cakap? Kurang ajar kau yo. Parampuan jalang, hina.”
            Dia mendorong tubuhku ke dinding, menjepit leherku dengan tangan kirinya, lalu menyumpalkan martabak ke mulutku, hingga aku kesulitan bernafas. Kepalaku terhempas ke dinding, aku merasa pusing dan pandanganku kabur.
            “Kau makan ni pancarian kau, tak sudi aku.”
            “Ehgg, eghh, ak..a..ak..”
            “Hahahaha, apo ondak kau buat sekarang, heh.”
            Aku berusaha sekuat tenaga membebaskan diriku. Kugigit tangannya, kutendang kemaluannya. Sesaat dia kesakitan. Aku beranjak, dia mencoba mengejar dan meraihku. Kulempar dia dengan remote TV yang terletak di meja, tak kena. Lalu kulempar dia dengan sendok pengaduk kopinya mengenai pelipis mata kanannya, aku senang. Dia terus berusaha menangkapku. Aku terus berlari menuju kamar, aku mencoba mengkunci pintu, tapi tak sempat. Dia mendorong pintu, akupun terjatuh. Aku terus bergerak mundur, lalu bangkit. Dia berhasil meraihku. Dihempaskannya aku ke tempat tidur. Dia menamparku, menjambak rambutku, mencekik leherku. aku mencoba mencari cara untuk membebaskan diri, meraba-raba kesegala arah, mana tahu ada sesuatu yang dapat kumanfaatkan.
            Tiba-tiba aku merasa tubuhku basah, ada sesuatu mengalir ditubuhku. Amis. Aku pasrah, jika hidupku berakhir. Ya Allah, ampuni hambaMu yang terkutuk ini. Tapi aneh, aku masih dapat merasakan udara panas malam ini. Terasa begitu menjijikkan.
            Astaghfirullah, tanganku berlumuran cairan yang sama seperti di tubuhku. Kurasakan badan lelaki iblis menimpaku, berat. Tubuhnya terasa sedingin es krim yang sering ku nikmati bersama bossnya. Wajahnya pucat pasi. Lidahnya menjulur. Oi, betapa. Apa yang telah terjadi ya Allah? Entahlah, tiba-tiba semua gelap.
Nama: Fitrah Nuraidillah Nst
Nim: 2101311002
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010, Reguler C Pendidikan Bahasa Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar