Minggu, 29 Mei 2011

Bartongkar


            Hmm, bibir itu terus mengutuk, mengumpat diriku. Bibir biadab, pikirku. Sungguh telingaku bosan mendengarnya. Ingin rasanya aku meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan kun fa ya kun padaku, aku ingin sejenak menjadi penyandang tunarungu, atau pemilik bibir itu berhenti mengalunkan bunyi-bunyi beracun, kumohon. Otakku mendidih, tatkala dia lontarkan umpatan hinaan atas diriku.
            “Lonte! Barges! Dasar kau, wanita penjaja nafsu!”
Ya Tuhan, rasanya sejenak nyawaku tercabut dari ubun-ubun. Tubuhku bergetar, dadaku sesak. Kutatap matanya yang memerah, menatapku dengan tatapan iblis. Bibirnya masih komat-kamit membaca mantra pembunuh harga diri seseorang. Ternyata itu mantranya.
Aku tak berdaya. Aku hanya mampu terpaku mendengar bibir itu menjampi-jampiku. Oh, Tuhan, beri aku kekuatan. Padahal aku sudah melakukan apa yang dia inginkan. Aku telah memenuhi apa yang dia butuhkan. Bukankah dia yang menyuruhku melayani bosnya? Apalagi yang salah? Apakah karena aku hanya bisa membawa satu kantong plastik martabak saja? Hehhgh…tengik.
Ingin rasanya kuambil gunting, lalu kugunting-gunting bibir biadab itu. Tapi  aku tak berdaya. Sungguh. Sepertinya mantra yang keluar dari bibir itu ampuh mengisolasiku, menahan diriku untuk tidak memberontak. Menjampi-jampiku, mengutukku menjadi berhala.
Heh, berhala. Yah, aku adalah berhala. Patung yang disembah, dielu-elukan, dimuliakan dengan sesajen agar sang hamba memperoleh nikmat tak terbatas. Aku hanya mampu terpaku ketika lelaki itu terus menawarkan sesajen harapan masa depan, menyembahku, agar aku melakukan apa yang dia minta, memenuhi apa yang dia butuhkan. Aku hanya mematung. Tak berdaya memberontak. Padahal hati ini terus mengutuknya.
Entahlah. Entah mengapa diri ini masih sanggup hidup dengan lelaki iblis itu. Apa yang telah dia lakukan padaku? Cinta? Apa mungkin aku mencintainya? Dulu . mungkin ya. Tapi itu karena kekeliruanku. Yah, aku keliru. Tetapi, mengapa aku masih hidup dengannya? Mengapa aku tak sanggup meninggalkannya? Bodohnya aku. Yah, aku memang manusia terbodoh yang pernah singgah di bumi Tuhan. Kurasa. Bagaimana tidak? Aghhh…entahlah entah. “Tuhannnn..”
***
            Seperti biasa, kedai incek Madin selalu ramai dikunjungi manusia-manusia penikmat surga dunia, setidaknya itu kata mereka. Semakin larut semakin ramai. Mereka selalu memesan minuman favorit mereka, si tuak pait. Usaha itu sudah berjalan belasan tahun. Sejak unde Saodah mengangkatku menjadi anaknya, begitulah yang kudengar dari cerita unde Saodah. Mereka membesarkanku dan menyekolahkanku, meski hanya sampai jenjang SMP, itupun tak tamat, aku berhenti ketika duduk di bangku kelas dua, dikarenakan incek Madin dan unde Saodah selalu bertengkar pasal biaya sekolahku. Aku tak tahan, aku tak mau mereka terus-terusan bertengkar, aku cukup tahu diri. Semenjak ayahku meninggal dan omakku pergi ke Malaysia dan menikah dengan lelaki negeri jiran sana, aku diasuh oleh mereka. Unde Saodah yang menginginkan aku, waktu itu umurku masih sembilan tahun. Ia tak tega melihat diriku terlantar. Jangankan atok dan andongku atau bujing Ijah adik omak, omakku pun tak mau mengasuhku lagi. Katanya ia tak mau melihatku lagi karena setiap menatapku dia selalu merindukan ayah. Dia tak mau larut dalam kesedihannya. Hanya unde Saodahlah yang mau menerimaku. Padahal incek Madinlah pamanku kandung, tapi justru dia tak ada niat sedikitpun mengasuhku. Namun, karena istrinya yang meminta, maka ia pun sudi mengasuhku. Betapapun tulusnya kasih unde Saodah, aku tetap tak bisa memanggilnya omak. Aku tetap tak bisa menggantikan predikat omak walaupun ia telah menelantarkanku. Oi, betapa.
            “Oih bayo, Zubed, jangan melamun sajo karojo kau, pogi kau antarkan tuak ni.”
            Unde Saodah mengejutkanku, spontan kujawab, “Iyo nde.”
            Aku mengantar tiga gelas tuak dan dua piring pisang goreng campur bakwan ke sebuah meja yang diduduki seorang pemuda berjaket hitam, lelaki separuh baya yang terlihat mewah dari tampilannya, dan tiga orang lelaki yang duduk mengangkat kaki sebelah.
            “Oi makjang, manis kali kau dek, siapo nama kau?” Sapa lelaki yang memakai jaket hitam.
            “Zubaidah bang, tapi soringnyo dipanggil Zubed.”
            “Udah adonya pacar kau dek. Aih, sorry, lancang bonar aku. Tak tahan aku manengok sonyum kau itu. Manis kali kuraso. Pantaslah, kode tuak incek Madin ni laris manis.”
            “Aponya abang ni.” Akupun berlalu menuju ke belakang, menyiapkan gorenganku sedikit lagi. Kurasakan dadaku berdebar-debar, ada sesuatu yang tertahan. Lelaki itu terus memandangiku. Tingkahku jadi aneh, aku salah tingkah dibuatnya. Hampir aku lupa mengangkat gorengan.
            Begitulah perkenalanku dengan lelaki itu. Setelah itu, dia sering kali datang ke kedai incek Madin. Terkadang dia datang bersama lelaki paruh baya itu, dan tak jarang pula dia datang sendiri. Lama kelamaan semakin hari semakin bertambah frekuensi debaranku. Aku jadi suka tersenyum sendiri bila mengingatnya, bahkan aku mencarinya kalau dia terlambat datang atau tidak datang. Pernah satu kali dia tak datang dan beberapa kali datang larut malam. Mungkinkah aku jatuh cinta? Pikirku. Apa yang kurang dari dia, wajahnya tampan, baik, dan sepertinya dia juga orang berkecukupan, setahuku mobilnya yang mewah ada dua. Kalau dia menyatakan cintanya padaku suatu saat, kuterima sajalah.
            Rasa dihatiku terpupuk hingga tumbuh subur. Aku menerima cintanya, malam minggu setelah sebulan aku mengenalnya. Tapi sayang, incek Madin tak suka. Dia menghajarku setelah aku pulang berkencan dengan lelaki itu, Puddin namanya. Dia tak suka aku berhubungan dengannya, lebih tepatnya dia tak suka aku berpacaran dengan pelanggannya.
            “Dasar kau, parampuan murahan, ondak jadi lonte kau yo? Aku cuma jual tuak, aku tak jual anak gadis orang, tau kau, bikin malu.”
            Hatiku mendidih, darahku berdesir. Unde Saodah mencoba meredam semuanya. Dia mencoba membela diriku, menghiburku. Incek Madin kemudian meredakan amarahnya. Namun seminggu tak dicakapinya aku.
            Walaupun sebegitu murkanya incek Madin padaku, perasaanku tetap tak berubah pada bang Puddin, begitu aku memanggilnya. Hubungan kami terus berlanjut. Hingga pada suatu malam incek Madin memarahiku lagi ketika aku ketahuan berkencan kembali dengan bang Puddin. Sampai pada akhirnya aku dan dia memutuskan untuk kawin lari. Persetan dengan restu. Lagipula mereka bukan orangtuaku, pikirku tak tahu diri. Pengabdianku kepada mereka selama ini sudah cukup. Bang Puddinpun membawaku hijrah ke Medan meninggalkan Tanjung Balai. Di kota ini kami mulai memintal kasih dan merajut hidup baru. Aku berharap masa depanku dengannya akan bahagia.
            ***
            Begitulah kisah perkenalanku dengan lelaki iblis itu yang masih tersisa di memoriku. Aku tertipu. Aku bodoh. Seminggu pernikahan itu memang indah. Kami tinggal di sebuah hotel mewah, bagiku sudah cukup mewah. Namun, kemudian dia mengajakku pindah ke sebuah rumah kecil dan sempit di ujung gang kecil yang jauh dari kemewahan. Awalnya kupikir hanya sementara kami tinggal disini, mungkin ini rumah saudaranya. Namun ternyata hari-hari kami akan berlalu di rumah ini, itu kata bang Puddin, si penipu itu. Aku tak percaya pada kenyataan itu, yang aku tahu dia lelaki berkecukupan dengan dua buah mobil mewah yang sering dibawanya ke kedai incek Madin.
            Hidupku sengsara. Uang belanja selalu saja tak cukup. Bang Puddin sering pulang larut malam, dengan kebiasaannya mabuk-mabukkan dan tak jarang pula uangnya habis untuk bermain judi. Dinding dan lantai rumah selalu menjadi saksi bisu pertengkaran kami.
            Sesuatu mengejutkanku. Sungguh. Oi, betapa dia tega padaku. Ketika itu dia menyuruhku untuk datang ke sebuah kamar di hotel mewah bertaraf Internasional, katanya. Dia ingin memberikan sebuah kejutan padaku. Kejutan yang mendatangkan rupiah berpuluh lembar. Selama pernikahan kami, baru kali ini dia memberi kejutan.
            Astaghfirullah, terkutuk. Benar-benar sebuah kejutan. Malam itu udara tercemar oleh suara tangis seorang perempuan kampung. Bintangpun enggan mengerlingkan sinar, rembulan mencoba menutup wajahnya dengan cadar awan-awan kelam. Tercium aroma busuk dari balik jendela kamar tanpa sinar. Entah apa yang busuk, mungkin sampah, roti, nasi, atau hati?
            Aku pasrah. Heh, pasrah, selain itu apa lagi yang bisa kuperbuat. Malam-malamku selanjutnya pun berubah. Lelaki itu selalu mengantarkanku ketika waktu gentayanganku tiba, agendaku, deadline. Ini demi masa depan kita, begitu katanya. Aku tak sanggup menolaknya. Sudah terlanjur basah, ya basahlah. Persetan dengan dosa, pikirku.
            Kupir-pikir aku senang juga dan berterimakasih pada bang Puddin. Kalau tak karena dia aku tak bisa bertemu dengan lelaki paruh baya itu, lelaki yang selalu dibawa bang Puddin ke kedai tuak incek Madin, oh ada penyesalan dihatiku mengingat mereka, unde saodah, bagaimana kabarmu. Ya, kalau tak bertemu lelaki paruh baya itu aku tak bisa merasakan kemewahan yang kupikir akan kudapatkan dari bang Puddin. Kasur empuk, fasilitas mewah, menikmati makanan enak di restoran mahal, berbelanja di Mall, berkaraoke, ke salon mahal. Hmm..tengik, uang yang kudapatkan dari hasil kerjaku selalu menjadi hak milik bang Puddin, bukankah itu tengik namanya. Tapi biarlah, yang penting keinginanku untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang kaya itu tercapai. Apapun yang haram akan kuhalalkan. Hahahahaha.
***
            Bibirku masih membeku, tubuhku gemetar, namun lelaki itu masih terus berorasi. Udara malam di rumah yang susah untuk selonjoran ini pun terasa panas. Tikus, kecoa, cicak, dan nyamuk penghuni rumah ini bersembunyi. Mereka seolah takut menjadi saksi pertengkaran kami.
            “Jalan kamano sajo kau, hah?”
            “Ke Mall sajo, kaliling-kaliling kota, baronti sabontar di jalan Iskandar Muda, torus pogi ke rumah dia yang di Belawan tu.”
            “Dari pagi sampek malam bagini, tak ado sapeser duit pun kau dapat? Macam manonyo kau ni, jadi apo yang kau dapat, parampuan oto.”
            Aku masih mengulum bahasa.
            “Kau tau, aku harus bayar utangku samo si Ujang, aku kalah taruhan samalam. Sekarang antah lah jang, tak bisa diandalkan kau jadi bini.”
            “Apo kato abang? Dah capek aku asik bartongkar torus. Memang tak adonya pikiran kau, aku ni istri kau, tak sedikitpun kau malu menjual istri kau, oih…udah macam binatang kau.”
            “Bujas, dah pande malawan kau yo, oh, bagitu ruponyo yang kau dapat dari si atok-atok tu yo.”
            “Heh, setidaknya kau harus ingat bang, dia yang mengkasi kau makan, dia yang membuatmu kau berhasil manipuku, karena dia kau bisa barjudi, mabuk-mabukkan sapuas kau. Kau tau kanapo aku tak bawa uang banyak malam ni, kau piker aku tak tau heh.. dia tak ondak mambayarku karena banyak utang kau samo dia, katonyo aku sebagai pambayaran palunasan utang-utang kau, oih..dimanonyo otak kau, binatang, setan.”
            “Hah apo kau cakap? Kurang ajar kau yo. Parampuan jalang, hina.”
            Dia mendorong tubuhku ke dinding, menjepit leherku dengan tangan kirinya, lalu menyumpalkan martabak ke mulutku, hingga aku kesulitan bernafas. Kepalaku terhempas ke dinding, aku merasa pusing dan pandanganku kabur.
            “Kau makan ni pancarian kau, tak sudi aku.”
            “Ehgg, eghh, ak..a..ak..”
            “Hahahaha, apo ondak kau buat sekarang, heh.”
            Aku berusaha sekuat tenaga membebaskan diriku. Kugigit tangannya, kutendang kemaluannya. Sesaat dia kesakitan. Aku beranjak, dia mencoba mengejar dan meraihku. Kulempar dia dengan remote TV yang terletak di meja, tak kena. Lalu kulempar dia dengan sendok pengaduk kopinya mengenai pelipis mata kanannya, aku senang. Dia terus berusaha menangkapku. Aku terus berlari menuju kamar, aku mencoba mengkunci pintu, tapi tak sempat. Dia mendorong pintu, akupun terjatuh. Aku terus bergerak mundur, lalu bangkit. Dia berhasil meraihku. Dihempaskannya aku ke tempat tidur. Dia menamparku, menjambak rambutku, mencekik leherku. aku mencoba mencari cara untuk membebaskan diri, meraba-raba kesegala arah, mana tahu ada sesuatu yang dapat kumanfaatkan.
            Tiba-tiba aku merasa tubuhku basah, ada sesuatu mengalir ditubuhku. Amis. Aku pasrah, jika hidupku berakhir. Ya Allah, ampuni hambaMu yang terkutuk ini. Tapi aneh, aku masih dapat merasakan udara panas malam ini. Terasa begitu menjijikkan.
            Astaghfirullah, tanganku berlumuran cairan yang sama seperti di tubuhku. Kurasakan badan lelaki iblis menimpaku, berat. Tubuhnya terasa sedingin es krim yang sering ku nikmati bersama bossnya. Wajahnya pucat pasi. Lidahnya menjulur. Oi, betapa. Apa yang telah terjadi ya Allah? Entahlah, tiba-tiba semua gelap.
Nama: Fitrah Nuraidillah Nst
Nim: 2101311002
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010, Reguler C Pendidikan Bahasa Indonesia

Kamis, 26 Mei 2011

puisiku


Tuan, Tuhan
Tuan-tuan
Ini rumahmu tuan
Adakah Tuhan dirumah tuan?

Tuan-tuan
Ini adalah rumah Tuhan
Mengapa tak ada tuan dirumah Tuhan?

Dimana tuan, dimana Tuhan?
Kapan tuan menghadap Tuhan?
Apakah harus tiba Tuhan menyapa tuan?
Jawab: dihatimu, tuan

Tung, Kalitung!

Tung, kalitung
Masih terdiam mematung
Mengharap sebuah senandung
Hapus wajah sedang mendung

Tung, kalitung
Apa daya hati terkurung
Duka lara terus mengalung
Pada sederet elegi tak terhitung

Tung, kalitung
Air mata masih mengapung
Berharap nenek nyanyikan sebuah senandung
Pada sederet elegi tak terhitung
Namun, masih terdiam mematung
Apa daya hati terkurung
Nyanyikanlah sebuah senandung
Tung, kalitung
Menanti cucu cicit pulang kampung


Satu- Sembilan

Satu,
Dua,
Tiga,
Empat,
Lima,
Enam,
Tujuh,
Delapan,
Sembilan,
Tak pernah tamat ku menghitung nikmat Tuhan

Kabayan Era Globalisasi
Duduk
Diam
Berdiri
Duduk
Diam
Tidur
Ah…………
Mengapa kau begitu dan selalu begitu
Dasar kau kabayan era globalisasi
Ayo, sedikit melangkah
Satu saja,
Jangan hanya menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya
Wahai kau, kabayan era globalisasi
 

Mimpi Laskar Pemimpi (telah diterbitkan di Medan Bisnis, 2011)


                                                       
                                                                    
               Impian, heh hampir mirip dengan harapan. Bermimpilah, karena masa depan berawal dari mimpi. Mimpi adalah kunci kesuksesan. Orang yang tidak pernah bermimpi adalah orang yang tidak pernah memiliki masa depan yang bahagia. Orang yang tidak mau bermimpi adalah orang yang tidak mau memiliki masa depan yang bahagia. Orang yang tidak memiliki mimpi adalah orang yang merugi seumur hidupnya. Berhenti bermimpi berarti berhenti memikirkan masa depan. Ah, begitu banyak kata-kata yang terangkai dari bibir setiap para lascar pemimpi.
               Berbicara impian, aku adalah salah satu lascar pemimpi yang tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Bahkan, aku memiliki berjuta mimpi. Mimpi-mimpi yang harus terwujudkan, inginku.
               Aku ingat, saat usiaku menginjak empat tahun, saat ditanya oleh bapakku, “Nak, kalau sudah besar nanti, anak bapak mau jadi apa?”. Maka dengan wajah polos aku menjawab, “Jadi doktel.” Begitulah lidah kecilku yang masih cadel belum fasih menyebut huruf terakhir tersebut.
               Dan ketika aku mulai mengecap bangku sekolah dasar, saat guruku bertanya, “apa cita-cita kalian anak-anak?”
               Dengan wajah polos itu aku mnjawab, “jadi dokter bu.” Lidahku mulai fasih mengucapkannya.
               Dan ketika aku mengecap bangku kelas enam sekolah dasar, impianku berubah karena sosok ibu guru yang begitu aku kagumi, aku suka cara dia mengajari kami, benar-benar seorang guru yang lemah-lembut, bu Mustika. Saat temanku bertanya, “Memangnya cita-cita kamu apa?”
               Dengan wajah polos itu pun aku menjawab, “Aku tidak punya cita-cita, tapi aku punya impian, aku ingin menjadi guru seperti bu Mustika. Aku ingin mewujudkan cita-cita bangsa kita seperti kata bu Mustika, mencerdaskan kehidupan bangsa.”
               Pun ketika aku mulai menimba ilmu di sekolah menengah pertama, ketika guru Fisikaku bertanya, “Apa impian terbesarmu, nak?” Dengan wajah polos itu aku menjawab, “Saya mau jadi guru, pak.”
               Dan ketika aku tinggal menunggu pengumuman kelulusan sekolah menengah pertama, aku dibingungkan oleh pilihan. Benar-benar dilematis. Saat temanku bertanya, “Mau lanjut kemana?”
               Atau ketika guruku bertanya, “Mau melanjutkan kemana, nak?” Aku bingung, benar-benar bingung. Maka dengan wajah polos itu aku menjawab, “Aku bingung, benar-benar bingung., ntahlah, melanjut ke sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah keperawatan, atau mungkin sekolah pertanian menengah atas. Aku bingung. Aku punya keinginan untuk menjadi insinyur pertanian tatkala bapakku mengalami gagal panen. Ntahlah.
               Namun akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas saja, kalau-kalau nanti aku punya keinginan menjadi apa, bisa aku pikirkan nantinya. Setelah tamat dari sekolah menengah atas ini kita dapat melanjut ke jenjang apapun itu.
               Ketika wali kelasku bertanya, “Apakah kalian sudah memiliki gambaran untuk melanjutkan kemana? Apakah kalian sudah memiliki gambaran mau jadi apa kalian nati setelah tamat sekolah?” Hingga dengan wajah polos itu aku menjawab, “Jadi insinyur pertanian, bu.”
               “Kenapa?”
               Aku pun menjawab bahwa aku ingin membantu bapakku mengolah sawahnya, agar bila nanti bapak mengalami gagal panen lagi, aku bisa membantunya untuk mengatasinya.
               Namun impianku berubah seiring berjalannya waktu. Aku ingat, ketika aku masuk kelas drama. Aku jadi begitu jatuh cinta dengan dunia yang aku geluti, sehingga timbul hasratku untuk menjadi sutradara teater. Aku ingin bisa membuat pementasan dimana-mana, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negara ke negara lain. Hm, ntahlah.
               Pun ketika ibuku bertanya padaku disaat kesibukan rutin kami disenja hari, “Ndok, ada niat lanjut kemana nanti setelah tamat? Ibu sih terserah maunya kamu, tapi ibu kok malah punya keinginan kamu tuh jadi bidan gitu ya ndok, kepiye?”
               “Ya ndak tau lah bu, lihat rezekinya nanti,”
               “Kalau bapak sih maunya kamu jadi dokter, kalau jadi bidan tanggung atuh bu, mbok jadi dokter ngono loh, bapak sanggup kok nyekolahin si mbak, lagian itu kan cita-cita si mbak dari kecil, iya toh.”
               Aku tersenyum mendengar permintaan ibu dan bapak. Kok malah aku jadi bingung, benar-benar bingung. Ntahlah. Bagaimana kalau aku katakana kalau aku mau jadi guru, jadi insinyur pertanian, jadi sutradara teater, atau mungkin bergelut pada bakatku yang baru, menjadi atlit beladiri. Hm, akulah laskar pemimpi yang tidak pernah berhenti bermimpi. Berjuta impianku, malah membuatku bingung.
               ***
               Aku pun bertambah bingung ketika harus menentukan pilihanku ketika diakhir kelas tiga sekolah menengah atas. Pasalnya bukan karena aku memiliki impian baru. Bukan.
               Tahun itu benar-benar tahun dukacita bagiku. Tahun dimana aku dirundung nestapa. Tahun yang membuat aku bingung apa yang harus kulakukan. Tahun yang membuat keluargaku begitu terpukul. Tahun yang membuat semangatku runtuh. Tahun yang membuatku berhenti bermimpi.
               Tidak. Aku adalah laskar pemimpi yang tidak pernah berhenti bermimpi. Lascar pemimpi yang memiliki berjuta mimpi. Aku ingat, orang yang berhenti bermimpi berarti orang yang berhenti memikirkan masa depan. Aku bukan orang yang tidak pernah bermimpi. Aku juga bukanlah orang yang tidak mau bermimpi. Aku hanya orang yang berhenti bermimpi. Apakah aku adalah orang yang tidak memiliki masa depan? Aku hanya mampu bergumam.
               Pada hari menjelang ujian akhir nasional sekolah menengah atas aku memutuskan untuk berhenti melanjutkan sekolahku. Begitu miris. Hm, mungkin bagi lascar pemimpi yang lainnya, mereka tidak kan pernah menyerah pada keadaan, mereka akan memperjuangkan mimpi-mimpi mereka, mimpi-mimpi yang tercatat dalam seratus mimpi mereka.
               Tapi ini kisahku, bukan kisah mereka. Meski putus sekolah bukan termasuk kedalam daftar jutaan mimpiku. Tapi ini karena keadaan. Aku tidak mungkin bias melanjutkan sekolahku lagi setelah kejadian malam itu, hujan api 10 Oktober. Sijago merah begitu garang melahap rumah kami. Sawah bapak juga sudah habis terjual ketika bapak mencalonkan dirinya menjadi Kepala Desa. Kami bangkrut. Mungkin kalau bangkrut tidak membuatku begitu terpukul. Tapi, yang satu ini benar-benar membuatku serasa bak mentari yang tiba-tiba kehilangan sinarnya, tatkala awan hitam menutup wajahnya di siang bolong.
               Ah, begitu tidak adilnya dunia, pikirku. Atau Tuhan mengutuk diriku karena aku begitu rakus untuk memiliki berjuta mimpi? Ntahlah. Kematian bapak benar-benar tidak bisa aku terima. Bagaimana mungkin, padahal lima jam sebelum kejadian itu kami masih bersendagurau, memikirkan kemana aku harus melanjutkan pendidikanku. Dan pada saat itu pertama kalinya aku bisa menentukan pilihanku, aku telah mantap untuk melanjutkan studiku ke kedokteran. Aku ingin ketika ibu dan bapak sakit, aku bisa mengobati mereka.
               Namun itu itu semua berakhir begitu saja. Seiring dengan mimpiku yang hangus terbakar. aku adalah laskar pemimpi yang berhenti bermimpi. Aku sudah tidak memikirkan jadi apa aku nantinya. Terserah Tuhan. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku dan ibuku bertahan hidup. Aku sedih melihat ibuku yang selalu terdiam terpaku. Seperti mayat hidup saja. Sejak kematian bapak, ibuku kehilangan akal sehatnya. Ntahlah.
               ***
               Semua sejarah hitam itu tertulis di catatan putihku. Daftar sejuta mimpi itu tak ada satupun yang terwujud. Butiran mutiara mengalir dipipiku membasahi catatan harianku. Aku adalah laskar pemimpi yang gagal memperjuangkan mimpi. Mungkin aku terlalu rakus memiliki berjuta mimpi, begitulah kata-kata yang selalu menari di pikiranku.
               Kain putih yang menjadi alas tidurku bak lautan hitam mimpiku. Aku sekarang hanyalah makhluk hina yang paling hina. Sejak dokter mendiagnosis aku mengidap penyakit HIV AIDS, aku menjadi penghuni ruang ini, merenungi hidupku, meratapi nasibku. Sejak aku memutuskan untuk berhenti bermimpi, aku menjadi sosok yang selalu pasrah. Jalani saja hidup ini mengikuti arah angina. Jika angi membawaku ketaman yang indah, bahagialah hatimu, jika angina membawamu ke lubang pembuangan sampah, sedihlah hatimu. Mengikuti arah angin, satu kesalahanku, seharusnya aku memutuskan untuk melawan arah angin.
               Mampuslah diriku ketika aku bertemu lelaki hidung belang itu,. Tapi aku malah berterima kasih padanya waktu itu. Mungkin karena aku tak berdaya. Ibu pun sudah menyusul bapak karena begitu cintanya ia.Sekarang, inilah aku dan kisahku, bersama sejarah dan impianku yang hangus terbakar.
               Namun pada detik ini, kumohon. Ya Tuhan, sekali ini saja, impianku dapat terwujud, aku hanya menginginkan satu mimpi ini setelah aku berhenti bermimpi. Kali ini harus terwujud, aku akan memperjuangkannya, karena aku laskar pemimpi. Tuhan, aku ingin malaikat IzrailMu menjemputku dirumahMu tatkala aku mengecup sajadah.

(*) Penulis merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2010
Nama : Fitrah Nuraidillah Nst
Nama pena: Aidillah Nasty
Alamat Fb: Fitrah Bluemoonshine
Alamat : Jln. Perjuangan gg Sukadamai no 11A, Medan Perjuangan, Medan.
No HP : 085276985855