Diponegoro
karya: chairil anwar
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
….
( 1943 )
Hayo..siapa yang
tahu penggalan puisi di atas acungkan tangannya sobat. Pada masih ingat
kan sama pahlawan Pangeran Diponegoro? Kenapa ya sang pujangga Chairil Anwar
sampai menuangkan sosok Diponegoro ke dalam puisinya? Apakah para sobat
merasakan sebuah kekuatan semangat yang membara ketika membaca puisi Diponegoro? Kekuatan dari sosok
Diponegoro dan kekuatan luapan semangat perjuangan.
Dipanegara
atau dikenal dengan gelar Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa:
Diponegoro), lahir di Yogyakarta, 11 November 1785, meninggal dunia di Makassar,
Sulawesi
Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun.
Beliau dimakamkan di Makassar.
Pahlawan nasional Republik Indonesia ini merupakan anak sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram
di Yogyakarta
dan R.A. Mangkarawati, seorang garwa ampeyan
(istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan.
Lahir dengan nama Mustahar, Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden
Mas Antawirya (Bahasa Jawa: Ontowiryo).
Beliau
lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo
daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara
menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang
baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.
Sang
pahlawan sangat harum namanya pada perang Dipanegara (Diponegoro), yangmana
perang tersebut berawal ketika pihak Belanda
memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo.
Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan
pembebanan pajak.
Sikap
Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong.
Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang
sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu.
Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung
dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini
didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya
Bupati Gagatan.
Perang
Diponogoro adalah perang yang sangat hebat. Selama perang ini kerugian pihak
Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk
menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden
diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara.
Pada tahun
1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda.
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Penangkapan dan pengasingan
- 16 Februari 1830 Pangeran Dipanegara dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
- 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
- 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
- 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
- 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
- 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
- 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Penghargaan sebagai Pahlawan
Sebagai penghargaan atas jasa
Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat
jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama
Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan
nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas
Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang
dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV
Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang. (Ai, referensi:
http://www.wikipedia.org/)